“Zaman baru membawa senjata baru” (Tan Malaka, 1926).
Ilmu pengetahuan diyakini mampu membawa kita kepada
pencerahan. Intelektualitas kita seharusnya mampu mereduksi pertentangan yang
dapat merugikan pergerakan kita menuju kesana. Dibutuhkan persatuan untuk
membawa kita dari pintu gerbang kemerdekaan ke kemerdekaan sepenuhnya.
Seharusnya ini menjadi kabar baik ketika teknologi informasi mengubah wajah
dunia kita melalui Revolusi Industri 4.0. Adakah demikian?.
REVOLUSI INDUSTRI 4.0.
Dewasa ini tuntutan itu berasal dari hadirnya Revolusi
Industri 4.0. Revolusi ini berbasis semakin pesatnya digitalisasi manufaktur.
Terdapat 4 faktor yang menjadi pendorongnya, yaitu : (1) peningkatan volume
data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; (2) munculnya analisis, kemampuan,
dan kecerdasan bisnis; (3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia
dengan mesin; (4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik (Lee dkk,
2013 dalam Yahya, 2018).
Masalahnya, No
pict = hoax, is seeing believing?. Arus informasi yang tak terbendung ini
dapat mempengaruhi perasaan, persepsi, dan opini. Untuk itu, semakin erat
pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, apalagi di era post-truth saat ini. Post-truth
merupakan kondisi di mana fakta tidak
terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan
personal (Oxford Dictionary).
Dalam istilah lain, kita saat ini sedang berada dalam
peradaban kamera yang sedang mentransformasi kehidupan kita secara
besar-besaran. Kamera di saku setiap orang sedang membentuk masa depan.
Peradaban kamera adalah sebuah peradaban di depan lensa yang secepat kilat
memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar (Kasali, 2013).
Hampir tidak ada lagi yang asli, semua hasil dari framing. Framing adalah proses penyajian informasi untuk mempengaruhi
persfektif penerima pesan. Era ini siap mengeksploitasi benteng terakhir
kemanusiaan kita, yaitu kesadaran. Siapkah kita dengan hal itu?.
KEADAAN KITA.
Moral hazard pendidikan kita adalah ketika memicu seseorang untuk
mendapatkan gelar akademis ketimbang mencari ilmu untuk memperoleh kompetensi.
Hal ini melahirkan generasi yang kebingungan dalam menentukan passion. Selanjutnya akan
bermetamorfosis menjadi generasi wacana. Cirinya adalah ketidaksingkronan
antara pendidikan yang ditempuh dengan karir yang dijalani (Kasali, 2018).
Kebingungan-kebingungan yang akan berlanjut kepada
ketidakstabilan emosi dan stimulasi-stimulasi sosial negatif lainnya, seperti: social disorganization (berkurangnya
pranata-pranata masyarakat), strain (tekanan
besar dalam masyarakat), differential
association (salah pergaulan), labelling,
dan male phenomenon.
Tantangan tersebut tidak hanya hadir dalam dunia
nyata, justeru sebaliknya, dunia maya menghadirkan tantangan yang jauh lebih
besar bagi remaja. Celakanya, generasi yang lebih dulu atau sering disebut digital immigrants, seringkali gagal
memahami fenomena ini. Sehingga remaja sebagai digital natives, semakin rentan terjebak pada
kebingungan-kebingungannya dalam era internet
of things dewasa ini.
Dalam bahasa yang lebih lugas, Inang Winarso (2016)
memberikan gambaran mengenai generasi muda dalam kaitan perubahan sistem
politik dan ekonomi global, dimana mereka dalam posisi tidak berdaya. Mereka
hanya dihitung sebagai angka-angka statistik, lalu dibiarkan tumbuh bersama
“pasar”. Mereka menjadi santapan lezat para pemilik modal melalui rayuan
modernitas sebagai identitas anak gaul dan kekinian. Dalam kesehariannya,
remaja sepenuhnya dikepung oleh ilusi. Mereka dicetak seragam oleh trend
sejenis tiap tahun.
Secara terus-menerus, menurut penjelasan Inang Winarso
selanjutnya, generasi ini dibuatkan trend
setter dimanapun berada. Ketika android masih trendy, mungkin sekarang para
konlomerat sedang merancang trend post android. Remaja digiring pada perjalanan
suci yang patut disemangati dan didoakan agar benar-benar tercapai tujuannya,
yakni ambisi untuk menikmati semua hal yang trendy. Ambisi tersebut dimaknai
sebagai pemenuhan hasrat manusia.
Jika demikian, bonus demografi yang akan diperoleh
oleh Bangsa Indonesia apakah masih bisa dimaknai sebagai suatu anugerah?
Ataukah bonus demografi tersebut hanya serupa gerombolan domba dipadang rumput
pasar bebas dan atau globalisasi yang bukan hanya akan melahirkan neo
liberalisme, namun juga pada ujungnya akan melahirkan neo imprealisme?.
Paradoks tersebut membentuk suatu kenyataan bahwa
tantangan globalisasi, yakni pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi
terhadap gaya hidup kita. Hal itu ditambah oleh semakin pudarnya nilai-nilai
religiusitas dan kearifan lokal budaya bangsa. Kedua hal tersebut dipandang
sebagai salah dua tantangan dan urgensi dari penguatan pendidikan karakter
menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tantangan dan urgensi lainnya
adalah : (1) harmonisasi potensi siswa yang belum optimal antara olah hati
(etik), olah pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik);
(2) besarnya populasi siswa, guru dan sekolah yang tersebar diseluruh
Indonesia; (3) belum optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan
karakter anak antara sekolah, orangtua dan masyarakat; (4) terbatasnya
pendampingan orang tua mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi tujuan
hidup anak; (5) keterbatasan sarana dan infrastruktur.
Sungguh suatu fakta yang sangat miris, di era internet of things masih menganggap
teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu ancaman, hal tersebut
dikarenakan rendahnya tingkat literasi dan kualitas pendidikan, sementara
pengguan internet terus meningkat secara masif.
Sementara itu, siklus kompetisi dunia terus beredar.
Setelah era red ocean, kemudian hadir
era blue ocean. Namun perkembangan blue ocean ini menimbulkan disruption, sehingga mengembalikan kompetisi
kembali ke era red ocean.
Sepertihalnya pada fase industri yang merontokan fase agraris, dimulai dengan
penemuan mesin uap oleh James Watt. Penemuan tersebut mendorong revolusi
industri yang berujung pada kolonialisme dan atau imprealisme. Begitu juga pada
fase internet of things dewasa ini,
dimulai dengan ditemukannya internet yang menyebabkan revolusi informasi yang
memiliki ciri-ciri : sharing, real time dan on demand. Revolusi informasi yang diyakini belum mencapai
puncaknya ini, entah akan melahirkan model imprealisme yang seperti apa. Satu
hal yang pasti, model imprealisme yang dihasilkan oleh revolusi informasi ini
akan lebih dahsyat dan mengerikan bagi kemanusiaan. Harus bagaimanakah kita?.
GERAK CERDAS GERAKAN KECERDASAN.
Dalam menghadapi badai tersebut, paling tidak, kita
harus memiliki : (1) kemampuan berbahasa ( baik itu menulis, membaca, menyimak
dan berbicara, maupun pemahaman akan teks, konteks dan konten) sebagai
kemampuan mendasar dalam peradaban manusia; (2) penguasaan akan teknologi
informasi; (3) kemampuan manajerial yang baik, yakni yang dapat menjadikan kita
sebagai trasformator baik secara individual maupun organisasional.
Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan iklim
intelektual dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sangatlah mendasar. Kita
harus menyadari ini suatu usaha yang sulit. Untuk itu, konsistensi dan
kesungguhan adalah kuncinya. Namun, untuk dapat mencapai kondisional minimum
seperti yang telah disebut sebelumnya, merupakan sebuah perjalanan yang panjang.
Bagaimana mempertahankan konsistensi dan kesungguhan dalam kurun waktu yang
panjang, bahkan bisa saja lintas generasi? Jawabannya adalah evaluasi secara
periodik. Kenapa evaluasi periodik ini begitu signifikan? Karena hal tersebut
menunjukan adanya tata kelola ilmu pengetahuan dan iklim intelektual. Jadi,
dibalik evaluasi periodik itu ada Manajemen Pengetahuan. Dengan Manajemen
Pengetahuan, membuat gerak cerdas gerakan kecerdasan. Seperti apa itu Manajemen
Pengetahuan? Silahkan simak DISINI.
Aris Munandar – Matahari Pagi
keren, inspiratif
BalasHapusBaguss..
BalasHapus